Teori Belajar
Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Kajian kali ini membahas mengenai teori belajar
behavioristik dan penerapannya dalam pembelajaran. Sebelum melangkah lebih
jauh, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan teori
belajar behavioristik. Menurut Andriyani (2015) makna Behavior adalah tingkah laku baik yang dilakukan oleh suatu
organisme dengan lingkungan. Jadi Teori belajar behavioristik adalah sebuah
aliran dalam teori belajar yang sangat menekankan pada perlunya tingkah laku
(behavior) yang dapat diamati. Menurut aliran behavioristik, belajar pada
hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indera
dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus dan Respons.
Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu
kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang
bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan lingkungan.11 Teori
belajar tingkah laku atau behavioristik didirikan dan dianut oleh beberapa
ilmuwan, diantaranya adalah Ivan Pavlov, Thorndike, Watson, dan Skinner
(Andriyani, 2015).
Berikut adalah penjelasan mengenai pandangan para
Ahli mengenai teori belajar Behavioristik menurut Hardianto (2015).
1. Teori
Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike,
belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa
saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga
dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar
tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan
belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak
kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat
mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku-tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian,
teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh
lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme
(Connectionism).
2. Teori
Belajar Menurut Watson
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik
yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi
antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus
berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan
kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri
seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai
faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa
perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak
dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat
diamati.
3. Teori
Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara
stimulus dan respon untuk menjelaskan pengrtian tentang belajar. Namun ia
sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin.
Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat
terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull
mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah
penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga
stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis,
walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam
kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan
praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini
masih sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
4. Teori
Belajar Menurut Edwin Guthrie
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga
menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya
proses belajar. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan
dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark
dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung
hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik
perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan
respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul
sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus
yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman
(punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang
diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku
seseorang. Namun setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya
penguatan (reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi
dipentingkan dalam belajar.
5. Teori
Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang
belajar mampu meng-ungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh
sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat
menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurut
Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakannya
bahwa respon yang diberikan oleh seseorang/siswa tidaklah sesederhana itu.
Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan
saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan
mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon
yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi.
Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau
menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah
laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara
stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan
dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon
tersebut.
Menurut Andriyani
(2015) penerapan teori belajar Behavioristik tergantung dari tujuan
pembelajaran, mudah sukarnya materi, karakteristik pembelajaran, fasilitas dan
media pembelajaran. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori
behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak
berubah. Pengetahuan telah tersusun secara rapi, sehingga belajar merupakan
perolehan pengetahuan.
Langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada
teori behavioristik yang dikemukakan oleh siciati dan prasetia irawan (2001)
dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut
meliputi:
1. Menentukan
tujuan-tujaun pembelajaran.
2. Menagnalisis
lingkungan kelas yang ada.
3. Menentukan
materi pembelajaran
4. Memecah
materi pelajaran menjadi kecil-kecil.
5. Menyajikan
materi pelajran.
6. Memberikan
stimulus.
7. Mengamati
dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
8. Memberikan
penguatan (penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman.
9. Memberikan
stimulus baru.
10. Mengamati
dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
13.
Evaluasi hasil belajar
Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan
adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersusun secara
rapi, sehingga belajar merupakan perolehan pengetahuan. Sementara mengajar
adalah memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Jadi pembelajar
diharapkan mendapat pengetahuan yang sama dari orang yang mengajar. Pola
berpikir utama siswa adalah copy-paste terhadap yang diajarkan guru.
Menurut Andriyani (2015) Implikasi dari teori
behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak
yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi
dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk
berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
DAFTAR RUJUKAN
Andriyani,
F. 2015. Eori Belajar Behavioristik Dan Pandangan Islam Tentang Behavioristik. Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam,
(Online), 10(2), (ejournal.kopertais4.or.id/index.php/syaikhuna/), diakses 5
Februari 2017.
Hardianto,
D. 2015. Paradigma Teori Behavioristik Dalam Pengembangan
Multimedia Pembelajaran. Jurnal Pendidikan.
(Online), 1(1), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/deni-hardianto-mpd/penerapan-teori-behavioristik),
diakses 5 Februari 2017.
0 komentar:
Posting Komentar