Minggu, 05 Februari 2017

Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran

Teori Belajar Behavioristik dan Penerapannya dalam Pembelajaran
Oleh: Anis Suhartatik

Kajian kali ini membahas mengenai teori belajar behavioristik dan penerapannya dalam pembelajaran. Sebelum melangkah lebih jauh, sebaiknya kita mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan teori belajar behavioristik. Menurut Andriyani (2015) makna Behavior adalah tingkah laku baik yang dilakukan oleh suatu organisme dengan lingkungan. Jadi Teori belajar behavioristik adalah sebuah aliran dalam teori belajar yang sangat menekankan pada perlunya tingkah laku (behavior) yang dapat diamati. Menurut aliran behavioristik, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan yang ditangkap panca indera dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus dan Respons.
Belajar menurut psikologi behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional yang diberikan lingkungan.11 Teori belajar tingkah laku atau behavioristik didirikan dan dianut oleh beberapa ilmuwan, diantaranya adalah Ivan Pavlov, Thorndike, Watson, dan Skinner (Andriyani, 2015).
Berikut adalah penjelasan mengenai pandangan para Ahli mengenai teori belajar Behavioristik menurut Hardianto (2015).
1.      Teori Belajar Menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus yaitu apa saja yang dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Dari definisi belajar tersebut maka menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar itu dapat berujud kongkrit yaitu yang dapat diamati, atau tidak kongkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku-tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini disebut juga sebagai aliran Koneksionisme (Connectionism).
2.      Teori Belajar Menurut Watson
Watson adalah seorang tokoh aliran behavioristik yang datang sesudah Thorndike. Menurutnya, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus berbentuk tingkah laku yang dapat diamati (observabel) dan dapat diukur. Dengan kata lain, walaupun ia mengakui adanya perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun ia menganggap hal-hal tersebut sebagai faktor yang tak perlu diperhitungkan. Ia tetap mengakui bahwa perubahan-perubahan mental dalam benak siswa itu penting, namun semua itu tidak dapat menjelaskan apakah seseorang telah belajar atau belum karena tidak dapat diamati.
3.      Teori Belajar Menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengrtian tentang belajar. Namun ia sangat terpengaruh oleh teori evolusi yang dikembangkan oleh Charles Darwin. Bagi Hull, seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama untuk menjaga kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu, teori Hull mengatakan bahwa kebutuhan biologis dan pemuasan kebutuhan biologis adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat bermacam-macam bentuknya. Dalam kenyataannya, teori-teori demikian tidak banyak digunakan dalam kehidupan praktis, terutama setelah Skinner memperkenalkan teorinya. Namun teori ini masih sering dipergunakan dalam berbagai eksperimen di laboratorium.
4.      Teori Belajar Menurut Edwin Guthrie
Demikian juga dengan Edwin Guthrie, ia juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Namun ia mengemukakan bahwa stimulus tidak harus berhubungan dengan kebutuhan atau pemuasan biologis sebagaimana yang dijelaskan oleh Clark dan Hull. Dijelaskannya bahwa hubungan antara stimulus dan respon cenderung hanya bersifat sementara, oleh sebab itu dalam kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberikan stimulus agar hubungan antara stimulus dan respon bersifat lebih tetap. Ia juga mengemukakan, agar respon yang muncul sifatnya lebih kuat dan bahkan menetap, maka diperlukan berbagai macam stimulus yang berhubungan dengan respon tersebut. Guthrie juga percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu merubah kebiasaan dan perilaku seseorang. Namun setelah Skinner mengemukakan dan mempopulerkan akan pentingnya penguatan (reinforcemant) dalam teori belajarnya, maka hukuman tidak lagi dipentingkan dalam belajar.
5.      Teori Belajar Menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Skinner tentang belajar mampu meng-ungguli konsep-konsep lain yang dikemukakan oleh para tokoh sebelumnya. Ia mampu menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun dapat menunjukkan konsepnya tentang belajar secara lebih komprehensif. Menurut Skinner, hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi dalam lingkungannya, yang kemudian akan menimbulkan perubahan tingkah laku, tidaklah sesederhana yang digambarkan oleh para tokoh sebelumnya. Dikatakannya bahwa respon yang diberikan oleh seseorang/siswa tidaklah sesederhana itu. Sebab, pada dasarnya stimulus-stimulus yang diberikan kepada seseorang akan saling berinteraksi dan interaksi antara stimulus-stimulus tersebut akan mempengaruhi bentuk respon yang akan diberikan. Demikian juga dengan respon yang dimunculkan inipun akan mempunyai konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang pada gilirannya akan mempengaruhi atau menjadi pertimbangan munculnya perilaku. Oleh sebab itu, untuk memahami tingkah laku seseorang secara benar, perlu terlebih dahulu memahami hubungan antara stimulus satu dengan lainnya, serta memahami respon yang mungkin dimunculkan dan berbagai konsekuensi yang mungkin akan timbul sebagai akibat dari respon tersebut.
Menurut  Andriyani (2015) penerapan teori belajar Behavioristik tergantung dari tujuan pembelajaran, mudah sukarnya materi, karakteristik pembelajaran, fasilitas dan media pembelajaran. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersusun secara rapi, sehingga belajar merupakan perolehan pengetahuan.
Langkah-langkah pembelajaran yang berpijak pada teori behavioristik yang dikemukakan oleh siciati dan prasetia irawan (2001) dapat digunakan dalam merancang pembelajaran. Langkah-langkah tersebut meliputi:
1.      Menentukan tujuan-tujaun pembelajaran.
2.      Menagnalisis lingkungan kelas yang ada.
3.      Menentukan materi pembelajaran
4.      Memecah materi pelajaran menjadi kecil-kecil.
5.      Menyajikan materi pelajran.
6.      Memberikan stimulus.
7.      Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
8.      Memberikan penguatan (penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun          hukuman.
9.      Memberikan stimulus baru.
10.  Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan siswa.
13.     Evaluasi hasil belajar
Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah tersusun secara rapi, sehingga belajar merupakan perolehan pengetahuan. Sementara mengajar adalah memindahkan pengetahuan kepada orang yang belajar. Jadi pembelajar diharapkan mendapat pengetahuan yang sama dari orang yang mengajar. Pola berpikir utama siswa adalah copy-paste terhadap yang diajarkan guru. Menurut Andriyani (2015) Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi siswa untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya siswa kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
DAFTAR RUJUKAN
Andriyani, F. 2015. Eori Belajar Behavioristik Dan Pandangan Islam Tentang Behavioristik. Jurnal Pendidikan dan Pranata Islam, (Online), 10(2), (ejournal.kopertais4.or.id/index.php/syaikhuna/), diakses 5 Februari 2017.

Hardianto, D. 2015. Paradigma Teori Behavioristik Dalam Pengembangan Multimedia Pembelajaran. Jurnal Pendidikan. (Online), 1(1), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/deni-hardianto-mpd/penerapan-teori-behavioristik), diakses 5 Februari 2017.

0 komentar:

Posting Komentar